Kamis, 12 Januari 2012

pengertian tindak bahasa


Tindak Bahasa/Speech Acts
A.        Pengertian Tindak Bahasa
Tindak bahasa (speech act) merupakan unsur pragmatic yang melibatkan pembicara, pendengar atau penulis pembaca serta yang dibicarakan. Dalam penerapannya tindak bahasa digunakan oleh beberapa disiplin ilmu. Seorang kritikus sastra mempertimbangkan teori tindak tutur untuk menjelaskan teks yang halus (sulit) atau untuk memahami alam genre (jenis) sastra, para antropolog akan berkepentingan dengan teori tindak bahasa ini dapat mempertimbangkan mantra magis dan ritual, para filosof melihat juga adanya aplikasi potensial diantara berbagai hal, status pernyataan etis, sedangkan linguis (ahli bahasa) melihat gagasan teori tindak bahasa sebagai teori yang dapat diterapkan pada berbagai masalah di dalam kalimat (sintaksis), semantic, pemelajar bahasa kedua, dan yang lainnya. Di dalam linguistic pragmatic tindak tutur tetap merupakan praduga dengan implikatur khusus. (Setiawan, 2005 : 16)
Menurut Chaer (2004 : 16) tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsugannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.
Ø  Fungsi bahasa ialah komunikasi atau menyampaikan pesan/ makna dari pembicara kepada lawan bicara. Makna dalam komunikasi diungkapkan dengan kalimat.
Kalimat-kalimat yang komunikatif terbagi atas dua kategori berdasarkan maknanya, yaitu:
1.      Kalimat “pelaku” atau “perlakuan” (Performatives).
Makna dari kalimat perlakuan adalah mengungkapkan (pelafalan) kalimat itu.
Umpamanya, kalau kita mengambil kalimat:
-“Saya berjanji datang besok pagi”
 Makna kalimat itu adalah “janji yang diucapkan itu”
 Kalau seorang pejabat suatu kantor menyatakan:
- “Saya menyatakan seminar ini dibuka,” maka ucapannya atau perlakuannya  itulah makna kalimat itu, yakni pengucapannya itulah tanda bahwa  keadaan”seminar dibuka” itu menjadi kenyataan.
Demikian juga kalau seorang hakim mengatakan:
-“Saya hokum anda dengan hkuman penjara 6 bulan”, maka pengucapanatau perlakuannya itulah yang menjadikan hukuman itu kenyataan.
Kalimat-kalimat perlakuanseerti diatas relative tidak begitu banyakjumlahnya dalam suatu bahasa, yang jauh lebih banyak adalah kalimat penyata. Austin (1962) mengatakan bahwa makna juga disebut “nilai kalimat”.
-itu adalah tindakan membuat janji itu. Jadi, “mengucapkan kalimat “ itu adalah “perlakuan berjanji”, dan kalimat itu disebut “kalimat perlakuan”.
2.      Kalimat “penyata” (constatives) seperti:
-Dia pergi ke Bali.
-Sudah pernahkah anda ke Bali?
-pergilah ke bali.

B.      Teori Tindak Bahasa

Jika  kita mengkaji tata bahasa tradisional kita melihat pembagian bentuk-bentuk kalimat, secara umum, dalam tiga kelompok, yakni:
·         Pernyataan (statements)
Berfungsi untuk “member informasi kepada orang lain’
Umpamanya: “Anak saya sakit hari ini”
·         Pertanyaan (questions)
Berfungsi untuk “mengajukan pertanyaan”
Umpamanya: “Kamu dari mana?”
·         Perintah (commands)
Berfungsi untuk “menyruh atau meminta sesuatu kepada lawanbicara”
Umpamanya: “Angkatlah peti ini ke ruang tengah!”
Ø  Tindak Bahasa dari Sudut Pembicara
Menurut Austin (1962), ujaran/kalimat (selanjutnya disebut kalimat saja), yang bentuk formalnya adalah pernyataan, biasanya member informasi, tetapi ada juga yang brfungsi lain, yakni yang “melakukan suatu tindakan bahasa”. Kita membedakan dua fungsi yang diungkapkan oleh kalimat pernyataan, yakni:
·         Penyata (constatives) yang memberikan informasi mengenaisuatu faktayangdapat benar atau tidak benar, dan
·         Pelaku atau perlakuan (performatives) yang melakukan suatu tindakan sambil mengucapkan suatu bentuk bahasa.
Pada kalimat perlakuan sering kalimatnya dimulai dengan frase: “Dengan ini”, umpamanya: “Dengan ini saya menyatakan Seminar ini dibuka.” Dan kalimat-kalimat yang digunakan pada kalimat perlakuan harus mengikuti aturan-aturan bentuk yang sudahditentukan.
            Ada sejumlah aturan yang harus diikuti, antara lain:
·         Harus ada urutan peristiwa yang sudah dianggap baku, yakni sebelum dan sesudah klimat pelaku itu diucapkan, dan harus menjadi “kebiasaan’ yang harus disetujui asyarakat.
·         Ucapan (kalimat pelaku) itu harus dilakukan oleh orang (atau orang-oarang) tertentu yang ditunjuk dan berwenang, dalam situasi tertentu yang sifatnya resmi.
·         Semua orang dalam tempat atau ruangan itu harus ikut ambil bagian, dan sasana tidak dibenarkan kalau santai, dan
·         Prosedur (upacara) it harus diikuti secara benar dan lengkap, tidak ada bagian-bagian yang dapat ditambah atau dihilangkan.
Sekelompok kalimat pelaku yang berlainan fungsinya: yakni yang mempunyai penerapan pada situasi-situasi yang bukan bersifat resmi. Yang dimaksud ialah kalimat-kalimat yang tidak ada kendala-kendala penggunaanpenggunaan aturan yang harus diikuti. Kalimat-kalimat itu dapat digunakan untuk mengungkapkan sesuatu secara eksplisit atau secara implicit. Contoh :
·         Eksplisit : “Saya berjanji akan….”, “Saya minta maaf karena saya….”, “Saya peringatkan kalau kamu tidak menurut perintah, akan saya hokum”, dan sbagainya.
·         Implisit : “Kalau hujan licin” (yang implicit merupakan peringatan untuk berhati-hati), “Ada anjing galak” (yang merpakan peringatan untuk tidak masuk tanpa izin), “Hadiah sayembara ini menggiurkan” (yang merupakan undangan untuk mengikuti sayembara) , dan sebagainya.

Untuk lebih jelasnya tentang ketiga teori tindak tutur tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
·          Tindak Lokusi
Wijana (Dalam Setiawan, 2005 : 18-19) menyatakan bahwa tindak lokusi adalah tindak bahasa untuk meyatakan sesuatu. Tindak bahasa ini disebut The Act of Saying Something. Konsep lokusi adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang sebagai suatu satuan yang terdiri atas dua unsur, yakni subjek atau topik dan predikat atau comment yang relative paling mudah untuk diidentfikasikan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tertuturnya tercakup dalam situasi tutur.
Sehubungan dengan tindak lokusi, Leech (dalam Setiawan, 2005 : 19) memberikan rumus tindak lokusi. Bahwa tindak tutur lokusi berarti penutur menuturkan kepada mitra tutur bahwa kata-kata yang diucapkan dengan suatu makna dan acuan tertentu.
Dari batasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak lokusi hanya berupa tindakan menyatakan sesuatu dalam arti yang sebenarnya tanpa disertai unsur nilai dan efek terhadap mitra tuturnya.
Contoh : (tindak bahasa Lokusi)
“Ayah menatakan kepada saya untuk mengawini Aminah.”


·         Tindak Ilokusi
Lubis (dalam Setiawan, 2005 : 22) memberikan definisi lebih rinci dengan beberapa batasan mengenai tindak ilokusi yaitu pengucapan suatu pernyataan, tawaran, janji, pertanyaan, permintaan maaf dan sebagainya. Ini erat hubungannya dengan bentuk-bentuk kalimat yang mewujudkan suatu ungkapan.
Subyakto-Nababan (Dalam Setiawan, 2005 : 22) menambahkan bahwa tindak ilokusi adalah tindak bahasa yang diidentifikasikan dengan kalimat pelaku yang eksplisif. Tindak ilokusi merupakan tekanan atau kekuatan kehendak orang lain yang terungkap dengan kata-kata kerja : menyuruh, memaksa, mendikte kepada dan sebaginya.
Contoh : (Tindak bahasa ilokusi)
“Ayah menyuruh (memaksa, mendikte kepada) saya untuk mengawini Aminah.” Perhatikan bahwa disini, tindak bahasa ilokius itu merupakan suatu tekanan atau kekuatan kehendak orang lain yang terungkap dengan kata-kata kerja : “menyuruh, memaksa, mendikte kepada”. Ini disebut “nilai ilokusi”.
·         Tindak Perlokusi        
Menurut Wijana (dalam Setiawan, 2005 : 25) tindak perlokusi adalah tindak bahasa yang pengaturannya dimaksud untuk mempengaruhi lawan tutur.
Subyakto-Nababan (dalam Setiawan, 2005 : 25) memberian definisi mengenai tindak perlokusi, yaitu tindak bahasa yang dilkakukan sebagai akibat atau efek dari suatu ucapan orang lain.
Contoh : (tindak bahasa perlokusi)
“Ayah memaksa saya untuk mengawini Aminah” (Perlokusi : sikap dan prilaku nonlinguistic ayah mengakibatkan untuk saya merasa terpanggil untuk melakukan tindakan selanjutnya, yakni salah satu dari dua tindakan : menurut perintah ayah, atau pun tidak menurut perintah ayah).
            Mesikun ketiga tindakan bahasa itu terjadi sekaligus, kita dapat menganalisis tindak-tindak bahasa itu secara lebuh jelas dengan menelaahnya satu persatu :
·         Perbedaan lokusi dan ilokusi. Kita perlu mengingat bahwa lokusi berkaitan dengan makna, sedangkan ilokusi dengan nilai. Tindak bahasa lokusi bertugas untuk mengalihkan “makna” ini dari pembicara kepada lawan bicara (Searle, op.cit). Akan tetapi, ada juga kalanya seorang lawan bcara dapat “salah mengerti atau salah interprertasi” mengenai apa yang dimaksud oleh seorang pembicara.
·         Nilai ilokusi. Kalu ada salah mengerti atau salah interpretasi, nilai ilokusi dari nilai bahasa proposisi  akan ikut menentukan apakah yang  dikatakan pembicara itu salah satu yang berikt ini : “memberi informasi”, “Prakiraan”, “Peringatan atau ancaman”, ata “kecaman/pengngkapan kemarahan”, dan sebagainya.
Yang harus kita ingat ialah bahwa suat tindak ilokusi adalah suatu tindakan yang lingustik (bentuk) yang diucapkan dalam kontekes tertentu.
·         Tindak perlokusi. Tindak perlokusi adalah suatu tindakan (prilaku) yang nonlinguistic, yakni suatu akibat dari efek dari tindak-tindak bahasa likusi dan ilokusi.

Denah hbungan konsep tindak bahasa.
LinguistikUcapan
Tindak Bahasa Lokusi (Austin) = Proposisi (Searle)
Tindak Bahasa ilokusi
Lingistik konteks tertentu
Non-Linguistik Akibat pada pendengar
Tindak Bahasa Perlokusi









                  “Makna”                                       “Nilai”                                         “Efek”
            Austin (op.cit) menekankan tujuan dari sudut pandang pembicara, yakni “apa yang dimaksud dan yang ingin di capai dengan ucapan-ucapan itu”. Sementara akhli filsafat bahasa yang menekankan “pwmahaman dari sudut pendengar atau lawan bicara”.
Ø  Tindak Bahasa dari Sudut Pendengar
Autsin (op.cit) menekankan tindak bahasa dari sudut pembicara. Sebaliknya, Searle (op.cit) menekankan tindak bahasa dari sudut pendengar, yakni : bagaimana “nilai ilokusi” itu ditanggkap atau difahami oleh lawan bicara. Pemikiran Searle ialah bahwa tujuan-tujuan pembicara sukar diteliti, sedangkan interpretasi lawan bicara tampak dari reaksi-reaksi yang diberikan pada capan-ucapan pembicara.
Searle telah meneliti bagaimana pendengar mengiterpretasi kalimat-kalimat perlakuan pemicara, khsusnya kalimat-kalimat langsung. Sebagai contoh analisis beberapa ujaran (Sinclair&Coulthared, op.cit) :
·         “Apa dapat angkatkan koper ini?” (merujuk pada mampu atau tidak mampu pendengar melakukan permintaan itu).
·         “Apa anda akan mengangkatkan koper ini?” (merujuk pada prilaku pendengar pada wakt mendatang).
·         “Saya ingin kau angkatkan koper ini” (merujuk pada keinginan pembicara keapada pendengar).
·         “Apa mau mengangkatkan koper ini ?” (merujuk pada kesediaan pendengar).
·         “Kalau kau angkat koper ini, saya dapat duduk” (merujuk pada alasan permintaan kepada pendengar).
·         “Apa boleh saya minta anada untuk mengangkatkan koper ini ?” ( merujuk pada sikap pembicara terhadap pendengar yang terlihat dari bentuk yang di nilai sopan).
Dari ke enam contoh di atasa tindak bahasa ilokusi membuka bentuk-bentuk yang mencerminkan keinginan dan sikap pembicara kepada pendengar, sedang tindak bahasa perlokusi mencerminkan reaksi dari atau ujarannya kepada pendengar.
C.      Relevansi Tindak Bahasa dengan Pengajaran Bahasa.

Teori tindak bahasa menunjukkan relevansi yang erat antara tindak bahasa dan pengajaran bahasa, khususnya dengan Pendekatan Komunikatif. Istilah dan konsep “Komunikatif” itu berasal dari tulisan Hayemes (1972) yang pertama mermuskan definisi “kemampuan Komnikatif” (=Commnicative competence) sebagai “kemampuan berrkomunikasi dengan sesame manusia”. Dalam orang yang berkomunikasi yang diprntingkan bukan hanya bentuk-bentuk bahasa, dan bukan hanya bentuk kalimat yang tersirat (ilokusi), tetapi juga makna yang “terselubung” dalam suatu tindak bahasa; yakni apa yang menjadi akibat atau efek yang ditimbulkan oleh seorang pembicara pada lawan bicaranya (perlokusi).

Faktor yang mementukan apakah tindak bahasa ilokusi yang diucapkan oleh pembicara itu wajar dan dapat diterima oleh lawan bicaranya atau tidak. Factor-faktor itu ialah antara lain :
·         Siapa-siapa yang mengambil bagian dalam suatu wacana itu ?. Teman dengan teman,  ayah denagn ibu, guru dengan muritnya, dokter dengan pasiennya. Dan lain sebagainya.
·         Apa waktu  wacana itu terjadi ?. Pagi hari, siang hari, sore hari, malam hari ? waktu kerja atau waktu senggang.
·         Apa tempat wacana itu ?. di sekolah, di pasar, di rumah, dan sebagainya.
·         Apa topic yang digunakan pada pembicara ?. Mengenai hal-hal yang serius, ringan, basa-basi, ilmiah, nasehat, dan lainnya.
·         Apa  jalur yang dignakan para pembicara ?. apakah formal maupun informal, tatap muka atau melalui telepon, lisan atau melalui tulisan, dan sebagainya.
Suatu tindak bahasa itu dapat dikatakan wajar bentuknya, apabila diperhatikan konterks atau situasi tertentu seperti dikatakan dalam lima factor di atas. Kecuali bentuk yang wajar, suatu bentk kalimat tanya umpamanya, dapat mempunyai nilai ilokusi suatu perintah, suatu kalimat pernyataan dapat mempunyai nilai ilokusi suatu pertanyaan atau perintah dan sebagainya. Prinsip-prinsip seperti itu harus diterapkan dalam menyajikan penggunaan bahasa untuk berkomuniksai lisan maupun tulisan. 




pengen lagu seventeen gratis ... klik di sini